Cerpen/Cerita Pendek Psikologis- Selamat datang di blog absurd gue. Di artikel
kali ini gue mau bagiin cerita, lebih tepatnya cerpen yang bergenre misteri. Misteri pastinya menjadi daya tarik tersendiri, ya guys. Kemisteriusan bisa bikin penasaran, gimana aja cowok misterius yang suka dikejar-kejar cewek kayak admin *jduak. Oke, sebelum ke ceritanya, admin mau bahas dikit mengenai cerpen.
Jembatan Penyebrangan
Baik dan buruk, , matahari dan bulan, langit dan bumi, semua hal di dunia ini memiliki pasangan, kecuali jomblo, kayak kamu, iya kamu. Oke sorry, cuma bercanda, sebenarnya aku juga memiliki masalah yang serupa, sudah lebih dari 2 tahun aku menjadi Joker atau Jomblo Keren.
"Haah," kuhembuskan nafas panjang. "Ini sudah dua bulan."
"Apanya?" tanya Simon yang sedang tiduran di sofa dan memainkan ponselnya. "Sudah menjadi kebiasaanmu berbicara sendiri seperti itu."
"Setidaknya kau menanggapi," timpalku. "Aku berbicara soal Rhani, aku sudah mendekatinya selama dua bulan terakhir dan tidak ada kemajuan yang berarti."
"Kau sudah mengajaknya jalan?" Simon menaikkan satu aslinya.
"Aku sudah mengajaknya, tapi dia menolak ajakanku," jelasku. "Aku sama sekali tidak mengerti, padahal aku sudah berbuat baik kepadanya."
"Apa?!" Simon duduk seketika "Menjadi orang baik tidak selalu berakhir dengan baik."
"Setidaknya aku sudah berusaha," belaku.
Simon berdiri dan mengitariku. "Itulah sebabnya kau masih tidak mendapatkannya. Dengar aku sahabat baikku." Simon menaruh lengannya di pundakku dan menatapku tajam. Mata hitam legamnya seolah menghipnotisku. "Memberikan semua hal yang kau punya tidak akan membuat seseorang tertarik kepadamu."
Simon pun kembali ke sofa. "Itu malah membuatmu nampak seperti anjing yang patuh."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyaku.
"Sebelumnya aku harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu?" Ujar Simon. "Orang seperti apa dia itu?"
"Well, dia pintar, tekun, baik, cantik, yah, aku rasa dia nyaris sempurna,"
"Membosankan," gumam Simon pelan.
"Apa?!"
"Tidak, maaf, kau mendengar ucapanku barusan? Hm! Lucu, aku kira aku berbicara dalam hati, terasa seperti dalam sebuah sinetron." Simon membenarkan posisi duduknya. "Berapa banyak uang yang kau punya?"
"Hey! Kau tahu aku sensitis kalau ditanya seperti itu."
"Tidak-tidak." Simon menggeleng kepalanya. "Tidak ada barang bagus yang murah, termasuk perempuan."
***
"Kuliah semester berapa emang?" tanya Rhani.
"Baru semester 2,"
"Kuliah itu rasanya kayak gimana sih?"
"Agak sulit ngejelasinnya, tapi yang jelas tidak semenyenangkan yang ada di tv," Rhani tertawa pelan mendengar guyonanku yang tak terlalu lucu itu. Rasanya agak mengejutkan, hampir semua hal yang Simon ucapkan benar, bahkan ucapannya seolah tergiang-ngiang di kepalaku. Cara termudah membuat perempuan menyukaimu adalah dengan membuatnya tertawa, tapi sebenarnya membuat perempuan tertawa tidaklah terlalu mudah.
"Kalau kamu sendiri, nanti mau kuliah jurusan apa?" kini aku yang bertanya.
Rhani meminum jus alpokado yang tersaji di hadapannya. "Maunya sih jurusan seni,"
"Karena?"
"Suka ada sama seni yang mengekpresikan diri."
"Hooh, pantesan."
"Pantesan apanya?" Rhani nampak bingung.
"Orang yang berjiwa seni tinggi, biasanya berhati lembut dan memahami emosi orang lain." Pujiku, Rhani tersenyum lembut. Perempuan menyukai pujian, bahkan jika pujian itu hanya sebuah kebohongan, tapi jangan puji tubuh atau wajahnya, dia bisa berpikir kalau kau hanya menilainya dari fisik saja, ucapan Simon benar lagi.
Singkatnya, itu kencang yang bagus, bahkan lebih bagus dari yang aku kira. Aku mengartanya sampai ke rumah. Dia tersenyum tipis dan membuka pintu, aku pun melambaikan tangan dan memamerkan senyum sampai dia benar-benar memasuki rumah.
Rasanya senang sekali, bahkan aku tidak ingat terakhir kali aku sesenang ini.
"Meow," refleks aku langsung menengok ke sumber suara, ada anak kucing disana. "Anak kucing yang malang. Sayangnya aku tidak membawa makanan, dan sayangnya lagi, kucing tidak menerima uang. Maafkan aku, tapi tidak ada yang bisa kulakukan."
***
Disuatu pagi yang aku lupa tanggalnya, saat aku tengah menghadap layar laptop dan mengerjakan tugas. Suara kaleng jatuh mengejutkanku. "Hey! Ada apa disana?"
"Tidak-tidak, tidak ada apa-apa, hanya ada orang tampan dan keren yang tengah mengambil beberapa makanan dari kulkas," jawab Simon.
"Cih, kau tahu keuanganku sedang tidak bagus saat ini," jelasku.
"Dan kau tahu kalau aku tidak peduli," jawab Simon sambil berbaring di atas sofa. "Jadi, bagaimana kemarin?"
"Yah, semuanya berjalan dengan mulus."
"Jadi kau menciumnya?"
"TIDAK!"
"Kalau begitu tidak terlalu bagus," timpal Simon. "Jangan berlama-lama sobat. Temui dia sore ini dan nyatakan perasaanmu."
"Kau pikir itu tidak terlalu cepat? Kami baru saja jalan kemarin,"
"Kau pikur mendekatinya selama lebih dari dua bulan terbilang terlalu cepat?" Simon berbalik bertanya. Aku pun tak bisa menjawabnya.
Simon berjalan perlahan ke dapur. Dia Menyeduh bubur saset, Kemudian mengaduknya pelan. "Ada banyak hal yang bisa kadaluarsa di dunia ini kawan, salah satunya cinta. Sejujurnya aku tidak terlalu suka menyebut kata itu, itu membuatku jijik."
"Baiklah, aku akan menemuinya nanti sore."
"Langsung datang kerumahnya, jangan beritahu dia, dan bawa hadiah, tapi jangan yang terlalu mahal," ujar Simon.
"Kenapa kau bilang 'yang tidak terlalu mahal'?"
"Jika uangmu habis, kau tidak bisa membeli makanan untukku." Jelasnya dengan wajah datar.
***
Langkah demi langkah tercipta menuju rumahnya, hati ini berdetak dengan kencangnya. Dan detakan itu bertambah semakin kencang ketika mata ini melihat Rhani bercanda gurau dengan pria lain. Mereka berbicara singkat sebelum akhirnya Rhani memasuki rumahnya dan pria itu pergi menggunakan motornya.
Kaki ini kembali melangkah pulang dengan perasaan hampa. Diperjalanan aku kembali menemukan seekor anak kucing.
DUG!
Kelapa kucing itu kini rata dengan tanah.
Rasanya tubuh ini dipenuhi dengan amarah dan kebencian, tidak cukup sampai disana. Aku menghancurkan setiap benda di rumah dan berteriak sekeras mungkin.
"Hey, ada apa?" tanya Simon sambil menepuk bahuku.
Aku langsung menepis lengannya. "Jangan menyentuhku! Jika kau melakukannya lagi, aku akan menghajarmu."
"Ayolah." Simon menyentuh bahuku lagi.
DUG
Lengan ini pun meninju hidungnya. Dia sedikit terpental, kemudian kulihat cairan merah keluar dari hidungnya, dan disaat yang bersamaan, kurasakan sesuatu yang basah mengalir dari hidungku. Perlahan lengan ini meraba bagian bawah hidung ini. Darah. Hidung kami sama-sama berdarah.
"Itu kebiasaan burukmu," ujar Simon. "Berhentilah menyakiti dirimu sendiri."
Dia mengambil langkah perlahan menghampiriku. "Tidakkah kau pikir ini lucu? Orang tuamu tidak menginginkanmu, begitu juga dengan perempuan itu, bahkan keberadaanku disini juga semakin mempertegas bahwa."
Simon berdiri tepat di hadapanku. "Bahkan kau sendiri pun tidak menginginkan dirimu sendiri ada."
Setelah ucapan singkat itu dia sampaikan, dia langsung menghilang, keheningan statis pun mengisi ruangan ini. Perlahan kaki ini berjalan menuju sofa, lalu berbaring beberapa saat. Kemudian aku kembali bangkit dan menatap cermin. Melihat mataku yang hitam legam.
- Tamat
No comments:
Post a Comment