Friday 30 March 2018

Contoh Naskah Drama Pendek 4 Orang/Pemain

Contoh Naskah Drama Pendek 4 Orang/Pemain


Contoh Naskah Drama Pendek 4 Orang/Pemain - Yo! Dalam artikel ini akan menshare soal naskah drama. Drama, drama adalah sebuah pertunjukkan yang diselenggarakan di atas panggung, namun berdasarkan pengalaman gue lebih sering di depan kelas sih (?) Sementara naskah drama sendiri merupakan teks atau tulisan mengenai kejadian-kejadian yang terjadi dalam drama itu.

Oke, sebelum ke naskah dramanya. Kita sedikit mengenang kembali ingatan mengenai mantan naskah drama.

Drama ada 3 jenis, ada drama comedy (dari awal sampai akhir penuh dengan gelak tawa)
Drama tragedi (dari awal sampai akhir penuh dengan kesedihan)
ada mellow drama (Hasil kawin silang dari kedua jenis drama di atas)


Snow Ball Effect
    Pada suatu sekolah, pada pagi hari, murid-murid berkumpul dan saling bercanda ria satu sama lain.
Hani :" Haah, udah kelas tiga aja, bentar lagi pada lulus. Mau kuliah kemana?"
Dhio :"Keliah ke perguruan tinggi."
Hani :"Iya, apa namanya?"
Dhio :"Entah, masih bingung."
Rael :"Kalau gue sih, mau ke UNPAD, Universitas Padjajang."
Hani :"Kenapa pengen kesana?"
Rael :"Pengen aja."
Dhio :"Halah, palingan kesana lo mau cari cewek."
Rael :"Hahaha,"
Dhio :"Kalau mau cari cewek, mending ke kerkof, disana banyak cewek, tapi jadi-jadian."
Hani :"Btw, kalo misalkan kalian gak keterima di perguruan tinggi negeri, kalian mau kuliah swasta dimana?"
Dhio :"Hmm, entah, kalo menurut gue sih, daripada kuliah swasta, mending langsung kerja aja."
Rael :"Eh, Dhi, zaman now ijazah SMA mana laku."
Dhio :"Sorry aja, tapi gue mau bikin pekerjaan, bukan cari pekerjaan. Bill Gates sama Mark aja gak ngelanjutin kuliah, bisa jadi bilionare."
Rael :"Tapi kan itu mereka bukan elo."

    Bell masuk berbunyi, semua murid kembali ke meja mereka masing-masing. Perkataan Rael tentang Dhio yang tidak bisa menjadi sukses tanpa kuliah membuat konsentrasi Dhio terpecah. Pelajaran yang disampaikan guru sama sekali tidak masuk ke dalam kepalanya. Dam pada saat istirahat berlangsung.
Dhio :"Hmm, gue bakal buktiin ke Rael, kalau selama ada keyakinan, pasti ada jalan. Gue bakal memanfaatkan segala celah untuk meraih sukses, dan gue gak bakalan kasih tahu Rael soal rencana gue ini, biar dia terkejut."
Rael :"Kedengeran oy!"

    Setelah pulang sekolah Dhio langsung mengerjaan tugasnya seperti anak rajin .., tapi bohong. Dhio langsung membuka layar laptop dan mencari hal apa yang bisa dia lakukan dan menghasilkan uang.
Dhio :"Jadi penyanyi, yaelah, gue ngomong aja udah fals."
Kiki :"Lagi ngapain kak?"
Dhio :"Gak, ini lagi cari-cari peluang aja."
Kiki :"Hmm, kenapa gak jadi blogger atau youtuber aja?"
Dhio :"Blogger?"
Kiki :"Iya, semacam penulis di internet gitu,"
Dhio :"Kalau jadi youtuber, bagusnya diisi konten apa, ya?"
Kiki :"Terserah, gimana kalau unboxing?"
Dhio :"Yaelah, mau unboxing apaan? gehu kanting?"
Kiki :"Biasa aja kali, udah ah, mau tidur dulu."

    Hari demi hari berlalu dengan cepat seperti hembusan angin yang tak terhenti. Sudah 4 bulan Dhio memulai karirnya sebagai blogger. Banyak waktu yang ia relakan untuk sekedar mencari referensi dan menulis artikel. Bahkan nilai ulangannya menurun secara signifakan. Karena tidak ada perkembangan berarti dari blog yang ia kelola, akhirnya Dhio pun berhenti blogging. Dan pada suatu hari.
Hani :"Yeay! Gue bisa daftar SNMPTN, kamu gimana El?"
Rael :"Bisa dong, pasti gue masuk 50%. Kalau elo Dhi?"
Dhio :"Ga, gue gak masuk El. Harusnya gue nurut apa yang lo bilang, gue harus fokus belajar supaya bisa kuliah, walau kuliah di swasta."
Hani :"Hah?! Yang bener Dhi? Padahal aku baca artikel kamu tentang semangat belajar lho, tapi kamunya malah gak masuk."
Dhio :"Lho, darimana kamu tahu aku bikin artikel?"
Hani :"Gak sengaja, ada di halaman pertama google."
Dhio :"Serius?"
Hani :"Iya."

    Singkat cerita, Dhio berhasil menjadi seorang blogger dan meraup dollar dari setiap artikel yang ia tulis, dan, dia menggunakan uang itu untuk berkuliah.
- Tamat

Thursday 29 March 2018

Cerpen/Cerita Pendek Psikologis


Cerpen/Cerita Pendek Psikologis- Selamat datang di blog absurd gue. Di artikel
kali ini gue mau bagiin cerita, lebih tepatnya cerpen yang bergenre misteri. Misteri pastinya menjadi daya tarik tersendiri, ya guys. Kemisteriusan bisa bikin penasaran, gimana aja cowok misterius yang suka dikejar-kejar cewek kayak admin *jduak. Oke, sebelum ke ceritanya, admin mau bahas dikit mengenai cerpen.

Jembatan Penyebrangan

    Baik dan buruk, , matahari dan bulan, langit dan bumi, semua hal di dunia ini memiliki pasangan, kecuali jomblo, kayak kamu, iya kamu. Oke sorry, cuma bercanda, sebenarnya aku juga memiliki masalah yang serupa, sudah lebih dari 2 tahun aku menjadi Joker atau Jomblo Keren.
    "Haah," kuhembuskan nafas panjang. "Ini sudah dua bulan."
    "Apanya?" tanya Simon yang sedang tiduran di sofa dan memainkan ponselnya. "Sudah menjadi kebiasaanmu berbicara sendiri seperti itu."
    "Setidaknya kau menanggapi," timpalku. "Aku berbicara soal Rhani, aku sudah mendekatinya selama dua bulan terakhir dan tidak ada kemajuan yang berarti."
    "Kau sudah mengajaknya jalan?" Simon menaikkan satu aslinya.
    "Aku sudah mengajaknya, tapi dia menolak ajakanku," jelasku. "Aku sama sekali tidak mengerti, padahal aku sudah berbuat baik kepadanya."
    "Apa?!" Simon duduk seketika "Menjadi orang baik tidak selalu berakhir dengan baik."
    "Setidaknya aku sudah berusaha," belaku.
    Simon berdiri dan mengitariku. "Itulah sebabnya kau masih tidak mendapatkannya. Dengar aku sahabat baikku." Simon menaruh lengannya di pundakku dan menatapku tajam. Mata hitam legamnya seolah menghipnotisku. "Memberikan semua hal yang kau punya tidak akan membuat seseorang tertarik kepadamu."
    Simon pun kembali ke sofa. "Itu malah membuatmu nampak seperti anjing yang patuh."
    "Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyaku.
    "Sebelumnya aku harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu?" Ujar Simon. "Orang seperti apa dia itu?"
    "Well, dia pintar, tekun, baik, cantik, yah, aku rasa dia nyaris sempurna,"
    "Membosankan," gumam Simon pelan.
    "Apa?!"
    "Tidak, maaf, kau mendengar ucapanku barusan? Hm! Lucu, aku kira aku berbicara dalam hati, terasa seperti dalam sebuah sinetron." Simon membenarkan posisi duduknya. "Berapa banyak uang yang kau punya?"
    "Hey! Kau tahu aku sensitis kalau ditanya seperti itu."
    "Tidak-tidak." Simon menggeleng kepalanya. "Tidak ada barang bagus yang murah, termasuk perempuan."
***
    "Kuliah semester berapa emang?" tanya Rhani.
    "Baru semester 2,"
    "Kuliah itu rasanya kayak gimana sih?"
    "Agak sulit ngejelasinnya, tapi yang jelas tidak semenyenangkan yang ada di tv," Rhani tertawa pelan mendengar guyonanku yang tak terlalu lucu itu. Rasanya agak mengejutkan, hampir semua hal yang Simon ucapkan benar, bahkan ucapannya seolah tergiang-ngiang di kepalaku. Cara termudah membuat perempuan menyukaimu adalah dengan membuatnya tertawa, tapi sebenarnya membuat perempuan tertawa tidaklah terlalu mudah.
    "Kalau kamu sendiri, nanti mau kuliah jurusan apa?" kini aku yang bertanya.
    Rhani meminum jus alpokado yang tersaji di hadapannya. "Maunya sih jurusan seni,"
    "Karena?"
    "Suka ada sama seni yang mengekpresikan diri."
    "Hooh, pantesan."
    "Pantesan apanya?" Rhani nampak bingung.
    "Orang yang berjiwa seni tinggi, biasanya berhati lembut dan memahami emosi orang lain." Pujiku, Rhani tersenyum lembut. Perempuan menyukai pujian, bahkan jika pujian itu hanya sebuah kebohongan, tapi jangan puji tubuh atau wajahnya, dia bisa berpikir kalau kau hanya menilainya dari fisik saja, ucapan Simon benar lagi.
    Singkatnya, itu kencang yang bagus, bahkan lebih bagus dari yang aku kira. Aku mengartanya sampai ke rumah. Dia tersenyum tipis dan membuka pintu, aku pun melambaikan tangan dan memamerkan senyum sampai dia benar-benar memasuki rumah.
    Rasanya senang sekali, bahkan aku tidak ingat terakhir kali aku sesenang ini.
"Meow," refleks aku langsung menengok ke sumber suara, ada anak kucing disana. "Anak kucing yang malang. Sayangnya aku tidak membawa makanan, dan sayangnya lagi, kucing tidak menerima uang. Maafkan aku, tapi tidak ada yang bisa kulakukan."
    ***
    Disuatu pagi yang aku lupa tanggalnya, saat aku tengah menghadap layar laptop dan mengerjakan tugas. Suara kaleng jatuh mengejutkanku. "Hey! Ada apa disana?"
    "Tidak-tidak, tidak ada apa-apa, hanya ada orang tampan dan keren yang tengah mengambil beberapa makanan dari kulkas," jawab Simon.
"Cih, kau tahu keuanganku sedang tidak bagus saat ini," jelasku.
    "Dan kau tahu kalau aku tidak peduli," jawab Simon sambil berbaring di atas sofa. "Jadi, bagaimana kemarin?"
    "Yah, semuanya berjalan dengan mulus."
    "Jadi kau menciumnya?"
    "TIDAK!"
    "Kalau begitu tidak terlalu bagus," timpal Simon. "Jangan berlama-lama sobat. Temui dia sore ini dan nyatakan perasaanmu."
    "Kau pikir itu tidak terlalu cepat? Kami baru saja jalan kemarin,"
    "Kau pikur mendekatinya selama lebih dari dua bulan terbilang terlalu cepat?" Simon berbalik bertanya. Aku pun tak bisa menjawabnya.
    Simon berjalan perlahan ke dapur. Dia Menyeduh bubur saset, Kemudian mengaduknya pelan. "Ada banyak hal yang bisa kadaluarsa di dunia ini kawan, salah satunya cinta. Sejujurnya aku tidak terlalu suka menyebut kata itu, itu membuatku jijik."
    "Baiklah, aku akan menemuinya nanti sore."
    "Langsung datang kerumahnya, jangan beritahu dia, dan bawa hadiah, tapi jangan yang terlalu mahal," ujar Simon.
    "Kenapa kau bilang 'yang tidak terlalu mahal'?"
    "Jika uangmu habis, kau tidak bisa membeli makanan untukku." Jelasnya dengan wajah datar.
    ***
    Langkah demi langkah tercipta menuju rumahnya, hati ini berdetak dengan kencangnya. Dan detakan itu bertambah semakin kencang ketika mata ini melihat Rhani bercanda gurau dengan pria lain. Mereka berbicara singkat sebelum akhirnya Rhani memasuki rumahnya dan pria itu pergi menggunakan motornya.

Kaki ini kembali melangkah pulang dengan perasaan hampa. Diperjalanan aku kembali menemukan seekor anak kucing.
DUG!
Kelapa kucing itu kini rata dengan tanah.

Rasanya tubuh ini dipenuhi dengan amarah dan kebencian, tidak cukup sampai disana. Aku menghancurkan setiap benda di rumah dan berteriak sekeras mungkin.
"Hey, ada apa?" tanya Simon sambil menepuk bahuku.
Aku langsung menepis lengannya. "Jangan menyentuhku! Jika kau melakukannya lagi, aku akan menghajarmu."
"Ayolah." Simon menyentuh bahuku lagi.
DUG
Lengan ini pun meninju hidungnya. Dia sedikit terpental, kemudian kulihat cairan merah keluar dari hidungnya, dan disaat yang bersamaan, kurasakan sesuatu yang basah mengalir dari hidungku. Perlahan lengan ini meraba bagian bawah hidung ini. Darah. Hidung kami sama-sama berdarah.

"Itu kebiasaan burukmu," ujar Simon. "Berhentilah menyakiti dirimu sendiri."
Dia mengambil langkah perlahan menghampiriku. "Tidakkah kau pikir ini lucu? Orang tuamu tidak menginginkanmu, begitu juga dengan perempuan itu, bahkan keberadaanku disini juga semakin mempertegas bahwa."

Simon berdiri tepat di hadapanku. "Bahkan kau sendiri pun tidak menginginkan dirimu sendiri ada."

Setelah ucapan singkat itu dia sampaikan, dia langsung menghilang, keheningan statis pun mengisi ruangan ini. Perlahan kaki ini berjalan menuju sofa, lalu berbaring beberapa saat. Kemudian aku kembali bangkit dan menatap cermin. Melihat mataku yang hitam legam.

- Tamat

Wednesday 21 March 2018

Cerpen Psikologis - Cerita Pendek


Cerpen Psikologis - Cerita Pendek


Cerpen/Cerita Pendek Psikologis - Kota Terakhir - Selamat datang di blog absurd gue. Di artikel
kali ini gue mau bagiin cerita, lebih tepatnya cerpen yang bergenre misteri. Misteri pastinya menjadi daya tarik tersendiri, ya guys. Kemisteriusan bisa bikin penasaran, gimana aja cowok misterius yang suka dikejar-kejar cewek kayak admin *jduak. Oke, sebelum ke ceritanya, admin mau bahas dikit mengenai cerpen.

Cerpen atau cerita pendek adalah sebuah karya tulis yang cukup banyak penggemarnya, apalagi kalau di luar negeri, tapi kalau di Indonesia, buset, peminatnya dikit, maklum, orang yang suka baca di Indonrsia itu 1 berbanding 10.000. Mantap, 'kan?

Cerpen itu ada banyak jenisnya. Contohnya kayak Cerpen Komedi, Cerpen Horror, dan lain-lain. Nah, seperti judul dalam artikel ini, kali ini gue mau bagiin cerpen misteri.


Kota Terakhir

    Bunyi melengking menusuk telinga, dan mata  langsung terbuka. Nampak hamparan gedung tua yang sudah lama tertanam di kota ini.

Di atas aspal yang sudah retak ini, tubuhku berbaring. Perlahan tubuh ini bangkit, walau rasa sakit dan pegal mengerumuninya. Kugeser pandangan kekiri dan kanan, yang ada hanya bangunan tua. “Kemana semua orang pergi?”

Kuseret kaki ke pinggir jalan, tuk sekedar berdiam diri sejenak di depan toko akuarium tua, dan seperti tempat yang lainnya, disana pun tidak ada siapa-siapa.

Otak ini berpikir keras tuk mengingat apa yang terjadi, namun seolah ada lubang besar yang bersarang dalam pikiran ini. Yang kutahu, namaku adalah Lio, selebihnya aku tak tahu apa-apa.
Perut ini memberi isarat kalau tubuhku memerlukan makanan. Langkah demi langkah tercipta, walau ada keraguan dalam hati kalau langkah ini akan mengantarkanku kepada makanan.

Satu, dua, tiga, toko-toko, rumah, dan hotel yang kulewati semuanya kosong, tak berpenghuni.

Namun tiba-tiba saja sebuah selembaran yang tak sengaja terinjak menjadi pusat perhatian. Perlahan lengan ini meraihnya. Untungnya aku masih ingat bagaimana caranya membaca. Lembaran ini memapangkan wajah seorang perempuan dengan mata yang terhalang garis hitam tebal. Aku pun menyimpan selembaran itu disaku celana untuk berjaga-jaga.

Hanya berjarak beberapa langkah dari tempat tadi, ada restoran steak. Restoran yang tak begitu mewah, namun nampak cukup memesona. Mata ini tak dapat melihat apapun melalui kaca hitam restoran, namun telingaku bisa mendengar orang-orang yang tengah memotong daging, minum-minum, dan saling berbincang ringan.

Kubuka pintu restoran, dan tak ada siapapun disana. Sebenarnya ada apa ini? Makanan dan minuman masih tersedia di meja makan, bahkan sebagian ada yang sudah setengah termakan. Kucoba mengambil salah satu steak daging sapi itu dan memasukkannya ke mulut. Hmm, rasanya seperti steak pada umumnya.

    Tiba-tiba saja suara tangisan anak kecil menarik perhatian. Dengan langkah ragu-ragu, aku menuju belakang restoran, tempat dimana suara itu berasal. Benar saja, disana ada seorang anak laki-laki yang tengah menangis di pojok ruangan. Dengan kepala tertunduk, dan lengan mungil yang merangkul kakinya.

    Aku tak terlalu suka anak kecil, namun karena tak ada siapapun disini, aku pun menghampirinya. “Ada apa, buddy?”

    Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya terus menangis terisak. Aku pun membungkuk di hadapannya dan kembali bertanya. “Mungkin aku bisa membantu.”

    Tangisannya pun perlahan terhenti, walau nafasnya masih terisak. Dia menatapku selama beberapa saat, kemudian berbicara dengan suara parau. “Aku lapar.”
 “Hey! Kau berada di dalam restoran, dan disana ada tumpukan makanan tanpa seorang pun yang memakannya, pergi dan makan saja makanan itu!”
“Menurutmu begitu?” Nada bicara anak itu menunjukkan kalau dia ragu.
“Selamat datang di hadapan kenyataan, nak,” ujarku sambil memalingkan wajah. “Kau harus bisa bertahan hidup dengan cara apapun, suka atau tidak suka.”
Anak itu bankit dan mengganggam lenganku, seolah memintaku tuk menemaninya ke ruang makan. Aku pun mengantarkannya tepat ke depan meja makan, disana sudah tersedia steak yang dimasak setengah matang. Anak itu makan dengan cepat, namun dia memuntahkannya lagi, hal itu sukses membuatku jijik.
“Ngomong-ngomong, kamu tahu apa yang terjadi?” tanyaku.
 “Apanya yang terjadi?” anak itu malah berbalik bertanya.
“Tidakkah kota ini terasa sedikit aneh? Kemana perginya semua orang? Dan apa yang kamu lakukan disana?”
“Aku mencari ayah dan ibu.”
“Hmm, begitu, ya.” Aku memalingkan wajah. “Baiklah, semoga beruntung dengan mencari orang tuamu.”

Aku langsung mengambil langkah seribu, tapi suara retakan menghentikan langkahku. Perlahan kepala ini menoleh ke belakang, atap di atas anak itu retak. Retakannya menjalar ke seluruh restoran.

Dengan cepat kugendong anak itu dan membawanya keluar. Benar saja, beberapa saat kemudian restoran itu rubuh. Namun bukan hanya rata dengan tanah, tapi puing-puing restoran sampai masuk ke dalam lubang yang sangat besar dan dalam. Dengan langkah yang sedikit dihantui rasa takut, aku mendekati lubang itu. Kemudian menendang kerikil kecil kedalamnya, bahkan aku tidak bisa mendengar suara kerikil itu mendarat.

BRUUUSHH!!!

Gedung besar di belakangku pun dilahap bumi, tak menyisakan apapun. “Kita harus pergi darisini. Nampaknya disini ada bencana alam dan kita tertinggal saat pengevakuasian.”
“Tapi, ayah sama ibu.” Anak itu merengek.
“Cih, baiklah, biasanya mereka berada dimana? Atau kapan terakhir kali kau bersama dengan mereka?”
“Ditaman,” anak itu menjawab pelan. “Taman di dekat sini.”

Kami pun berjalan bebarengan, anak itu menempel sangat lekat padaku, seolah aku adalah satu-satunya tempat ia berlindung, seolah dia mati jika tidak ada aku.

Dalam hitungan menit, kami sampai di taman, namun sayangnya seperti tempat yang lainnya disini, taman itu pun kosong, aku hendak melangkah kembali, namun anak itu menghentikanku. “Ayok kita tunggu ibu sama ayah disini.”

Entah kenapa aku memberikan anggukan dan menunggu di kursi taman, sementara anak itu bermain, dia nampak sangat senang.

Sempat terpikirkan untuk meninggalkan anak itu sendiri dan menyelamatkan diri, pergi dari kota yang hancur ini. Jangan pergi, toh nanti kamu juga bakal tetep mati, hihihi. Akhirnya aku mengurungkan niat tuk meninggalkan anak itu sendiri, walau pun sebenarnya aku ini seorang yang individualistic.

Melihat anak kecil bermain sendirian, mengingatkanku kembali akan masa suram itu, masa dimana tubuh ini masihlah sangat kecil dan tak berdaya. Dulu pun yang menemaniku hanyalah seorang teman khayalan dan boneka usang dengan lengan yang hanya tinggal satu, juga keheningan dan kesunyian seolah sudah menjadi teman abadi semenjak saat itu.
“Hey nak! Coba jelaskan padaku, seperti apa ayah dan ibumu itu?” tanyaku memulai percakapan.
“Ayah orangnya keras dan suka memukuliku untuk pelampiasan,” jawabnya datar. “Ibuku juga suka memukuliku dengan sapu, dan terkadang berkata kalau aku yang mengambil uang ayah, walau sebenarnya ibu yang mengambil uang itu.”
“Dan kau tidak keberatan dengan hal itu?” tanyaku bingung.
“Tidak, selama ayah dan ibu tetap menemaniku, aku tidak apa-apa.” Senyum lebar dan polos menghiasi wajahnya, dia nampak sangat tulus mengatakan hal itu.
“Anak baik,” pujiku pelan sambil membalas senyumnya. Aku pun beranjak dari bangku taman dan menghampirinya. Kemudian menghajarnya dengan keras sampai dia tersungkur ke tanah.
“SUDAH JELAS KALAU ORANG TUAMU TIDAK MENGINGINKANMU!!!” teriakku sekeras mungkin. Rasanya kepala ini meledak seketika, emosi pun langsung melambung tinggi dan menggebu-gebu kepada anak polos dan bodoh ini. “Tidakkah kau melihat kalau mereka meninggalkanmu?! Kau hanya beban bagi mereka, seperti babi peliharaan yang bodoh. Bahkan kematianmu pun bisa menjadi berkat bagi mereka.”

Orang sepertinya lebih baik mati saja, dulu aku pun pernah seperti itu, rasanya senang sekali ketika ibu berbicara lemah lembut padaku, sesaat setelah ayah marah. Ibu sudah seperti malaikat pelindung yang selalu melindungiku, mungkin karena itulah orang-orang berkata bahwa ibu adalah malaikat tanpa sayap.

Namun sayangnya yang kualami tidaklah seindah itu, hati ini remuk bukan main ketika tahu bahwa yang menyulut amarah ayah tuk memakiku adalah dia, ibuku sendiri. Dia memfitnahku atas kejahatannya, dibalik sosoknya yang telah kuanggap sebagai malaikat, tersimpan sosok iblis sejati yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, semenjak saat itulah aku mulai kehilangan rasa kepercayaanku kepada orang-orang.

“Ayah, ibu.” Anak itu menangis. Tangisannya membuatku kembali tersadar dari lamunan. Dengan suara parau dia berakata pelan, “kenapa? Kenapa kalian meninggalkanku? Apa yang telah kuperbuat? Aku tidak pernah meminta ibu tuk melahirkanku.”

Hotel dan toko-toko kembali termakan bumi. Sementara tangisan anak kecil ini semakin kencang, mengesalkan sekali. Dia bergeser perlahan ke pojok taman, merangkul kakinya dan merengek, berharap ada yang akan menolongnya. Kaki ini pun kembali melangkah menghampirinya dengan emosi yang mengiringi.

Setelah berada tepat di hadapannya, aku pun langsung memeluknya erat. “Maaf, maaf sekali.” Perlahan tenggorokan ini terasa sesak. “Selalu berusaha mendapat nilai yang bagus, berprilaku baik, dan berusaha mendapat perhatian dari mereka, itu menyesakkan bukan?”
“Aku juga mengalaminya, tapi-,” ucapanku menggantung. “Tapi jangan sampai kau menjadi orang sepertiku, orang apaties yang menyedihkan. Seorang individualistic yang mementingkan dirinya sendiri, sampai berani merampok kesana-kemari tuk mencari makanan.”
“Aku tahu kalau kamu adalah anak yang baik, kamu hanya ingin disayangi seperti anak lainnya, namun kasihan sekali kamu, kamu tak seberuntung mereka. Namun sekarang, ayok kita pergi dari kota ini,” ajakku sambil melepas pelukan dan menggenggam lengan kecilnya. Tak akan kubiarkan anak ini berakhir sepertiku, tak akan kubiarkan dia kembali mencicipi pahitnya hidup ini.

Kuulurkan lengan ini dengan lembut, namun lengan mungil itu tak meraihnya. “Tidak, semuanya pergi bukan karena kota ini hancur, tapi mereka pergi dari kakak,” jelas anak itu pelan. “Kakak yang tega membunuh orang lain, semua orang pergi.”

BRUUSSHH!!!

Bangunan belakang taman memasuki tanah. Namun hal itu sama sekali tak kuhiraukan. Ucapan anak kecil itu membuatku tak peduli dengan kondisi sekitar. Senyum tipis akhirnya terlukis di wajah ini. “Jadi kamu sudah tahu kalau aku pembunuh, ya? Lalu kenapa kamu masih ingin bersamaku?”
“Karena-.” Anak itu bangun dan memelukku erat. “Kakak yang selalu melindungiku. Kakak yang selalu bersamaku, dan selalu melakukan apapun untukku tanpa memikirkan konsekuensi, bahkan kakak sampai terkoyak peluru.”

Ucapan anak itu kembali memberikan dentungan keras di kepala ini. Tanah kembali retak, namun lubang yang akan tercipta kali ini jauh lebih besar lagi. Aku pun memberikan pelukan yang sama eratnya dengan yang ia beri. Kemudian bibir ini berbisik pelan walau rasa sesak di dada ini benar-benar mencekik. “Maaf, aku telah menghancurkannya. Entah apa yang membuatku menjadi seperti ini, maaf. Aku telah berubah dari anak baik sepertimu menjadi seorang monster, aku sama sekali tak bermaksud seperti itu.”

Akhirnya aku sadar, kami tidak akan pernah bisa pergi darisini, karena ini adalah pikiran kami sendiri. Kota yang rubuh ini hanyalah gambaran dari ingatan dan pikiran yang mulai hancur dan menghilang, namun kota yang hancur ini memang pantas tuk rubuh, ini bukanlah kehidupan yang pantas hidup.

Lubang besar tercipta, dan menelan semua yang tersisa, termasuk kami berdua. “Kita sudah cukup lama bertahan dalam dunia yang hancur ini, sekarang ayok kita istirahat bersama.”

Selesai

Viral Wisuda Madrasah

   Viral Joget Tiktok di Wisuda Madrasah